BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap
mahluk hidup memiliki ciri-ciri tertentu, salah satunya menerima dan menanggapi
rangsang. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan, maka mahluk
hidup akan melakukan penyesuaian diri atau adaptasi untuk merasa lebih nyaman
dan bisa beraktivitas dengan normal. Ketika mahluk hidup tersebut tak mampu
untuk menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami kematian atau terkana seleksi
alam (Amdah, 2011).
Banyak
faktor yang bisa mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitasnya contohnya
pengaruh dari luar seperti lingkungan dan pengaruh dalam yang berasal dari
organisme itu sendiri. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi aktivitas
organisme adalah suhu dimana suhu mempunyai rentang yang dapat ditolelir oleh
setiap jenis organisme. Suhu mempunyai peranan penting dalam mengatur aktivitas
biologis organisme baik hewan maupun manusia (Ramadhani, 2011).
Makhluk
hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya. Endoterm
adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang diperlukan
untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok ektoterm berasal dari suhu
disekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan ketiga adalah
heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti halnya pada
endoterm, tetapi tidak dapat mempertahankan suhu tubunya dalam kisaran suhu
yang sempit (Yuliani dan Rahardjo, 2012).
Reaksi
enzimatis sangat bergantung pada suhu, karena aktivitas metabolisme di berbagai
jaringan atau kehidupan suatu organisme bergabtung pada kemampuan untuk
mempertahankan suhu yang sesuai dalam tubuhnya. Terhadap berbagai jenis hewan,
bila terjadi kondisi luar yang kurang cocok atau stress, misalnya terjadi
perubahan suhu lingkungan (dingin atau panas) akan menimbulkan usaha (secara
fisiologi atau morfologi) untuk mengimbangi stress tersebut (Yuliani dan
Rahardjo, 2012).
Menurut
Yuliani dan Rahardjo (2012), Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara. Tinggi
rendah suhu juga berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air akan
mengurangi kadar oksigen terlarut. Keadaan suhu air dan DO akan mempengaruhi
aktivitas ikan. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi
oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air.
Untuk
membuktikan pernyataan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul “
Hubungan Suhu Air dan DO dengan Aktivitas Ikan Mas”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengaruh suhu air terhadap aktivitas ikan mas?
2. Bagaimana
pengaruh DO terhadap aktivitas ikan mas?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk
mengetahui pengaruh suhu air terhadap aktivitas ikan mas
2. Untuk
mengetahui pengaruh DO terhadap aktivitas ikan mas
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Agar
mahasiswa mengetahui perbandingan kecepatan penggunaan oksigen oleh ikan mas
pada suhu dan DO yang berbeda.
E.
Hipotesis
Penelitian
Semakin
tinggi suhu air, maka semakin rendah DO (oksigen terlarut), sehingga aktivitas
ikan mas semakin menurun. Respirasi ikan mas semakin meningkat.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Termoregulasi
Termoregulasi
merupakan proses yang terjadi dalam tubuh hewan untuk mengatur suhu tubuhnya
supaya tetap konstan, supaya suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang
drastis. Mekanisme
termoregulasi yaitu mengatur keseimbangan antara perolehan panas dengan
pelepasan panas. Keseimbangan suhu tubuh hewan dapat dipengaruhi oleh suhu
lingkungan luar, hewan dapat bertahan hidup diantara -2oCsampai 50oCatau
pada suhu yang lebih ekstrim. Namun, hidup secara normal hewan memilih kisaran
suhu yang lebih sempit dari kisaran suhu tersebut yang ideal yang dikuasai agar
proses fisiologis optimal. Suhu tubuh ideal yang palig disukai yaitu suhu
ekritik berkisar antara 35oC-40oC.
Kisaran
toleransi termal yaitu kisaran suhu yang lebih luas dan dapat diterima hewan.
Suhu optimal sesuai keadaan tubuh suhu tubuh yaitu inti konstan dan suhu
permukaan berubah – ubah.
Kenaikan
suhu lingkungan mengakibatkan peningkatan laju reaksi dan berpengaruh terhadap
aktivitas metabolisme sel tubuh hewan. Hewan mempunyai kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh terbagi atas 2 yaitu hewan poikoloterm dan homeoterm.
Hewan
poikiloterm yaitu hewan ektoterm yang suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi
oleh suhu lingkungan eksternal sedangkan hewan homeoterm yaitu hewan endoterm
yang suu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh.
B.
Hewan Endoterm, Ektoterm, dan Heteroterm
Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber
panas bagi tubuhnya. Endoterm adalah
kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang diperlukan untuk
tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm berasal dari suhu di sekelilingnya yang merupakan sumber
panas tubuh. Kelompok hewan ketiga adalah Heteroterm,
tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti halnya pada endoterm, tetapi
tidak mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran suhu yang sempit (Yuliani dan
Raharjo, 2009).
Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah
batas ambang toleransinya hewan ektoterm akan mati. Hal ini karena praktis
enzim tidak aktif bekeria sehingga metabolisme berhenti. Pada suhu yang masih
bisa ditolerir, yang lebih rendah dari suhu optimum laju metabolisme tubuhnya
dan segala aktifitas pun rendah, akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi
sangat lamban sehingga akan memudahkan pemangsa atau predator untuk memangsa
hewan tersebut.
Sebenarnya hewan ektoterm berkemampuan untuk mengatur
suhu tubuhnya namun daya mengaturnya sangat terbatas dan tidak fisiologis
sifatnya melainkan secara perilaku. Apabila suhu lingkungan terlalu panas hewan
ektotermik akan berlindung di tempat-tempat teduh, apabila suhu lingkungan
menurun, hewan tersebut akan berjemur dipanas matahari untuk menghangatkan
tubuh.
Suhu mempengaruhi proses fisiologis hewan ektoterm
termasuk aktivitas yang dilakukan. Penaikan maupun penurunan tersebut mencapai
dua kali aktivitas normal. Aktifitas akan naik seiring dengan naiknya suhu
sampai pada titik dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti aktifitas
yang menurun dan akhirnya terjadi kematian.
Pada suhu sekitar 10oC dibawah atau diatas
suhu normal suatu jasad hidup dan khususnya pada hewan ektoterm dapat
mengakibatkan penurunan atau kenaikan aktifitas jasad hidup tersebut menjadi
kurang lebih dua kali pada suhu normalnya. Sedangkan perubahan suhu yang
tiba-tiba akan mengakibatkan terjadinya kejutan atau shock.
C.
Suhu
Suhu
merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang paling jelas, mudah diukur
dan sangat beragam. Suhu tersebut mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
aktivitas biologis organisme, baik hewan maupun tumbuhan. Ini terutama
disebabkan karena suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimiawi dalam tubuh dan
sekaligus menentukan kegiatan metabolisme, misalnya dalam hal
respirasi. Sebagaimana halnya dengan faktor lingkungan lainnya, suhu
mempunyai rentang yang dapat ditolerir oleh setiap jenis organisme. Masalah ini
dijelaskan dalam kajian ekologi yaitu, “Hukum Toleransi Shelford”. Dengan alat
yang relatif sederhana, percobaan tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas
respirasi organisme tidak sulit dilakukan, misalnya dengan menggunakan
respirometer sederhana (Amdah, 2011).
Dibandingkan
dengan kisaran dari ribuan derajat yang diketahui di bumi ini, kehidupan hanya
dapat berkisar pada suhu 300oC, mulai dari -200oC sampai
-100oC, sebenarnya banyak organisme yang terbatas pada daerah
temperatur yang bahkan lebih sempit lagi. Beberapa organisme terutama pada
tahap istirahat, dapat dijumpai pada temperatur yang sangat rendah, paling
tidak untuk periode singkat. Sedangkan untuk jenis organisme terutama bakteri
dan ganggang dapat hidup dan berkembang biak pada suhu yang mensekati titik
didih. Umumnya, batas atau temperatur bersifat membahayakan dibanding atas
bawah. Varibilitas temperatur sanagt penting secara ekologi. Embusan temperatur
antara 10oC dan 80oC. Telah ditemukan bahwa organisme
yang biasanya menjadi sasaran variabel temperatur di alam, seperti pada
kebanyakan daerah beriklim sedang, cendernung tertekan, terlambat pada
temperatur konstan (Waskito, 1992).
Kehadiran
dan keberhasilan suatu organisme tergantung pada lengkapnya keadaan, ketiadaan
atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan maupun
kelebihan baik secar kualitatif maupun secara kuantitatif dari salah satu dari
beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme
tersebut. Faktor-faktor yang mendekati batas biotik tersebut meliputi komponen
biotik dan komponen abiotik yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme
tersebut. Komponen biotik yang dimaksud tidak terbatas pada tersedianya
unsur-unsur yang dibutuhkan, tetapi mencakup pula temperatur, sinar matahari,
air dan sebagainya. Tiap organisme mempunyai batas maksimum dan minimum
terhadap faktor-faktor tersebut, dengan kisaran diantaranya batas-batas toleransi
(Udom, 1989).
Dari
hasil suatu pengkajian perintis (Shelford, 1929) menemukan bahwa telur-telur
dan larva atau tingkat punah dari “Codling Moth” berkembang 7% atau 8% lebih
cepat dibawah temperatur yang konstan. Dalam percobaan yang lain (Parker, 1930)
telur belalang yang disimpan pada temperatur yang berbeda-beda menunjukkan
percepatan rata-rata 36,6% dan percepatan rata-rata 12% diatas perkembangan
pada temperatur konstan yang dapat dibandingkan. Karena organisme-organisme
peka terhadap perubahan temperatur, dam karena temperatur itu dinilai terlalu
tinggi sebagai faktor pembatas (Asmawati, 2004).
Ikan
mas koki dapat beradaptasi pada suhu kisaran (20-25oC) yang mana
pada suhu tersebut merupakan syarat hidup dari ikan mas koki. Dan tidak
diharapkan untuk tidak melakukan perubahan atau perubahan kualitas air secara
drastis karena itu dapat membahayakan kehidupan dari ikan itu sendiri (Kholik,
2000).
Diperairan
tropis perbedaan atau variasi suhu air laut sepanjang tahun tidak besar; suhu
permukaan laut nusantara berkisar antara 27oC dan 32oC.
Kisaran suhu ini adalah normal untuk kehidupan biota laut di perairan
Indonesia. Suhu alami tertinggi diperairan tropis berada dekat ambang batas
penyebab kematian biota laut. Oleh karena itu, peningkatan suhu yang kecil saja
dari alam dapat menimbulkan kematian atau paling tidak gangguan fisiologis
biota laut. (Gesamp,1984) menyatakan bahwa kisaran suhu di daerah tropis
sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup dekat dengan batas suhu
tertinggi (Anonim, 2010).
Suhu
media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses
pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak
energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat
maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan
lambung tinggi.
Tingkat
pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya
meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh
ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk
pertumbuhan (Anonim, 2010 dalam
Amdah, 2011).
Suhu
media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang terlibat proses
katabolisme dan anabolisme. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses
katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa nutrien menjadi
senyawa baru yang dibutuhkan tubuh). Jika aktifitas enzim metabolisme
meningkat maka laju proses metabolisme akan semakin cepat dan kadar metabolit
dalam darah semakin tinggi. Tingginya kadar metabolit dalam darah
menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu makan tinggi, sehingga tingkat
konsumsi pakan meningkat. Konsumsi pakan yang tinggi akan meningkatkan
jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh. Energi ini akan digunakan untuk
proses-proses maintenance dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan (Anonim,
2010).
Respirasi
sendiri merupakan proses pertukaran gas oleh makhluk hidup terhadap lingkungan
yang terjadi dengan dua cara yaitu ekspirasi (mengeluarkan CO2) dan
inspirasi (O2 masuk kedalam tubuh). Respirasi terbagi atas
repirasi aerob dan respirasi anaerob. Respirasi aerob adalah respirasi yang
membutuhkan oksigen sedangkan respirasi anaerob adalah respirasi yang tidak
membutuhkan oksigen.
Oksigen
di dalam tubuh disimpan dalam darah dalam bentuk oxyhemoglobin (HbO2)
dan disimpan dalam otot dalam bentuk oxymioglobin. Respirasi juga biasa
didefenisikan sebagai proses pembebasan energi yang tersisa sumber zat energi
dalam tubuh organisme melalui proses kimia dengan menggunakan oksigen. Zat
sumber tersebut terdiri atas zat organik seperti protein, lemak, karbohidrat,
dan asam amino (Soesilo, 1986).
Variasi
lingkungan menimbulkan masalah yang berbeda bagi hewan dan tumbuhan. Bila hewan
didapatkan pada habitat yang berbeda, tumbuhan dengan beberapa pengecualian,
bila mereka hidup disuatu tempat maka mereka harus menyesuaiokan diri dengan
lingkungannya (Nasir Mochammad, 1993).
Lingkungan
yang bervariasi adalah suatu kenyataan bagi kehidupan tumbuhan dan hewan.
Bentuk ragam organisme dipengaruhi oleh tingkat dan jumlah perubahan
lingkungan, perubahan karena musim dan siklus pasang surut mengahasilkan
perubahan pada lingkungan yang diramalkan, siklus yang terakhir ini adalah
perubahan sebagai hasil dari siklus biologi (Haryono, 1984).
D.
DO
(Dissolved Oxigen)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen =DO)
dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu
perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil
fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara,
tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas,
pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971)
menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya
suhu dan berkurang
dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan
permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara
air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya
kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses
fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan organisme terhadap
oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya.
Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu
yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih
terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum
adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Swingle, 1968).
Idealnya, kandungan oksigen terlarut
tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada
tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan
oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous,
2004).
Oksigen memegang peranan penting sebagai
indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses
oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga
menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik.
Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen
adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah
nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi
anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi
lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan
reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara
perlakuanaerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah
tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan
sebagai pengoksidasi dan pereduksibahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang
lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat
dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti
mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun
rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya
yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan
umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya (Salmin, 2005).
DO merupakan perubahan mutu air paling penting bagi
organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50% konsentrasi jenuh,
tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela,
akibatnya ikan akan mati lemas (Ahmad dkk,1998). Kandungan DO di kolam
tergantung pada suhu, banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik
(Lelono, 1986 dalam Anonim, 2008).
DO : Kelarutan
suatu gas pada cairan. Penurunan kadar oksigen terlarut dapat disebabkan oleh
tiga hal:
1. Proses
oksidasi (pembongkaran) bahan-bahan organik.
2. Proses
reduksi oleh zat-zat yang dihasilkan baktri anaerob dari dasar perairan.
3. Proses
pernapasan orgaisme yang hidup di dalam air, terutama pada malam hari. “
Semakin tercemar, kadar oksigen terlerut semakin mengecil (Abdilanov, 2011).
Perhitungan
nilai DO dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Rachmadiarti, 2008):
Keterangan :
DO = Dissolved Oxigen
(mg/L)
a
= volume titrasi yang dipakai
N
= normalitas Na2S2O3 (0,025 N)
E.
Ikan
Mas (Cyprinus
caprio L)
Ikan Mas adalah salah satu jenis ikan peliharaan yang
penting sejak dahulu hingga sekarang. Daerah yang sesuai untuk mengusahakan
pemeliharaan ikan ini yaitu daerah yang berada antara 150 – 600 meter di atas
permukaan laut, pH perairan berkisar antara 7-8 dan suhu optimum 20-25 oC. Ikan Mas hidup di
tempat-tempat yang dangkal dengan arus air yang tidak deras, baik di sungai
danau maupun di genangan air lainnya ( Asmawi, 1986 dalam Anonim, 2008).
Ikan Mas layak digunakan sebagai indicator biologis
karena memenuhi syarat yang ditetapkan American Public Health
Association (APHA), antara lain :
1. Organisme harus sensitf
terhadap material racun dan perubahan lingkungan.
2. Penyebarannya luas dan mudah
didapat dalam jumlah yang banyak.
3. Mempunyai arti ekonomis, rekreasi
dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional.
4. Mudah dipelihara dalam
laboratorium.
5. Mempunyai kondisi yang baik,
bebas dari penyakit dan parasit.
6. Sesuai untuk kepentingan uji
hayati
Klasifikasi Ikan Mas menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub
Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub
Ordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidea
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus caprio L
Ikan Mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang, agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang
halus, dua pasang kumis (babels), ukuran dan warna badan
sangat beragam (Sumantadinata, 1983 dalam
Anonim, 2008).
Sumber Gambar:
Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala (omnivora)
yang antaralain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur, potongan
ikan, dan lain-lain (Asmawi,1986 dalam
Anonim, 2008).
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat
digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan
lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993 dalam
Anonim, 2008). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara
rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap
faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8 – 12 cm.
Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnan water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulannya (Arsyad dan Hadirini cit.
Sudarmadi, 1993 dalam Anonim, 2008).
BAB
III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian eksperimental, karena terdapat variabel-variabel dalam
penelitian yang dilakukan yaitu variabel manipulasi, variabel respon, dan
variabel kontrol.
B.
Variabel
Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain :
1. Variabel
kontrol : jenis ikan, ukuran ikan, ukuran aquarium (toples).
2. Variabel
manipulasi : media air (air panas, air dingin, dan air suhu kamar).
3. Variabel
respon : aktivitas ikan, pergerakan ikan, waktu kematian ikan.
C.
Alat
dan Bahan
1.
Alat
§ Termometer
§ Aquarium
(toples)
§ Botol
Winkler
§ Erlenmeyer
§ Pipet
§ Gelas
Ukur
2.
Bahan
§ Air
suhu kamar
§ Air
panas (± 80 oC)
§ Air
dingin (air es)
§ Ikan
mas
§ MnSO4
§ KOH.KI
§ H2SO4
§ Larutan
amilum
§ Na2S2O3
D.
Langkah
Kerja
1.
Membuat
Media Air à Perlakuan
1) Mengisi
toples A dengan 750 mL air pada suhu kamar, kemudian memasukkan 2 ekor ikan
mas.
2) Mengisi
toples B dengan air panas (± 80 oC) dan air suhu kamar dengan
perbandingan 2:1, total volume air 750 mL air (400 mL air panas + 350 mL air
suhu kamar), kemudian memasukkan 2 ekor ikan mas.
3) Mengisi
toples C dengan 400 ml air es dan 350 mL air suhu kamar, kemudian memasukkan 2
ekor ikan mas.
4) Mengisi
toples D dengan 600 mL air es dan 150 mL air suhu kanar, kemudian memasukkan 2
ekor ikan mas
5) Mengamati
aktivitas dan pergerakan ikan mas pada masing-masing toples.
2.
Mengukur
suhu dan DO
a.
Mengukur
suhu
1) Memasukkan
termometer pada masing-masing media air
2) Menghitung
suhu hingga 3 menit pertama
3) Mencatat
hasil ke dalam tabel
b.
Mengukur
DO
1) Mengambil
masing-masing sampel air dengan menggunakan botol Wikler gelap, diusahakan agar
tidak ada O2 yang terperangkap dalam botol.
2) Menambahkan
MnSO4 sebanyak 2 mL, mengocok botol Winkler secara perlahan-lahan
(membolak-balik botol dengan hati-hati). Mendiamkan beberapa saat hingga
terbentuk 2 lapisan
3) Menambahkan
H2SO4 pekat sebanyak 2 mL ke dalam botol secara hati-hati, mengocok botol
secara hati-hati, melakukan titrasi.
4) Mengambil
100mL sampel air yang telah mendapat perlakuan dan memasukkan dalam erlenmeyer.
5) Melakukan
titrasi dengan Na2S2O3 sampai terjadi perubahan warna (menjadi kuning muda).
6) Menambahkan
amilum sebanyak 10 tetes hingga tampak warna biru dan melanjutkan titrasi
dengan Na2S2O3 hingga warna biru menghilang
7) Menghitung
DO dengan menggunakan rumus
3.
Menghitung
DO
Keterangan :
a
= volume titrasi yang dipakai
N = konstanta 0,025
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Tabel
1. Hasil Pengamatan Hubungan antara suhu air dan DO terhadap aktivitas Ikan Mas
Media Air
|
Suhu (oC)
|
DO
|
Respirasi
|
Pola Pergerakan Ikan Mas
|
|
Awal
|
Akhir
|
||||
A
|
29
|
29
|
0,6
|
168
|
- Ikan
bergerak leluasa
- Terlihat
tidak mengalami shock
- Pembukaan
operculum (respirasi) stabil
|
B
|
59
|
55
|
1,91
|
17,33
|
- Ikan
mengalami shock (kejang-kejang)
- Keluar
darah dari bagian operculum
- Ikan
mati pada detik ke-59
|
C
|
17
|
20
|
3,94
|
100,67
|
- Ikan
mengalami penurunan kecepatan gerak
- Operculum
membuka secara lambat
- Ikan
tidak sampai mati
|
D
|
7
|
10
|
3,41
|
48
|
- Pergerakan
ikan lambat
- Ikan
mati pada detik ke-45
|
Grafik
1. Hubungan Suhu Air Terhadap Nilai DO
Grafik
2. Hubungan Suhu Air Terhadap Laju Membuka dan Menutupnya Operculum Ikan Mas
B.
Analisis
Data
Berdasarkan tabel dan grafik hasil pengamatan dapat
diketahui bahwa suhu air dapat mempengaruhi adanya oksigen terlarut (DO) dalam
air, sehingga dapat berpengaruh pula pada tingkat aktivitas ikan mas. Salah
satu aktivitas ikan mas yang diamati adalah frekuensi membuka dan menutupnya
operculum.
Ikan
mas dalam media air A dapat bergerak leluasa dan pembukaan operculum yang
stabil. Laju membuka dan menutupnya operculum sebesar 168 per menit yang
merupakan nilai terbesar bila dibandingkan dengan media yang lain. Ikan mas
pada media ini tetap hidup, hal ini menunjukkan bahwa ikan mas mampu bertahan
hidup pada suhu 29oC.
Media
air B yang memiliki suhu paling tinggi, memiliki nilai DO sebesar 1,91 dan laju
membuka dan menutupnya operculum sebesar 17,33 per menit. Saat ikan mas
dimasukkan dalam media B, ikan mengalami shock (kejang-kejang), ikan mas
mengeluarkan darah dari bagian operculum, dan ikan mas mati pada detik ke-59.
Ikan mas tidak dapat hidup pada suhu air yang sangat tinggi karena memiliki
kisaran toleransi yang sempit.
Pada
media air C dan D memiliki suhu air yang rendah. Pada media air C dengan suhu
awal 17 oC dan suhu akhir 20 oC memiliki nilai DO sebesar
3,94 dan laju respirasi sebesar 100,67 per menit. Ikan mengalami penurunan
kecepatan gerak yang sebelumnya bergerak sangat cepat, operculum membuka secara
lambat, tetapi ikan tidak sampai mati.
Media
air D memiliki suhu yang paling rendah
dengan nilai DO 3,41 dan laju respirasi sebesar 48 per menit. Ikan mengalami
perlambatan gerak yang bertujuan untuk mempertahankan panas dalam tubuhnya.
Ikan mas mati pada menit ke-45.
C.
Pembahasan
Dalam
penelitian ini, ikan mas melakukan termoregulasi terhadap beberapa perubahan
suhu lingkungan yang ditunjukkan dari berbagai macam media air A, B,C dan D.
Termoregulasi merupakan proses yang terjadi dalam tubuh hewan untuk mengatur
suhu tubuhnya agar tetap konstan, agar
suhu tubuh tidak mengalami perubahan yang drastis.
Bahan
uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan mas. Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas
tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan diri pada suhu
lingkungan sekelilingnya. Ikan mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan
kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan dan resistensi terhadap
penyakit. Ikan akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu diluar kisaran
yang dapat ditoleransi.
Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis
berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi kehidupan ikan. Perubahan-perubahan faktor tersebut
hingga batas tertentu dapat menyebabkan stress dan timbulnya penyakit. Salah
satu faktor fisik tersebut mencakup suhu. Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang
sangat penting dalam menunjang kehidupan organisme perairan. Pada suhu perairan
yang tinggi aktifitas metabolisme akan meningkat sehingga pada kondisi demikian
konsumsi oksigen akan bertambah pula, sedangkan kelarutan oksigen dalam air
akan mengalami penurunan dengan bertambahnya suhu sehingga hal tersebut bisa
saja menyebabkan kematian bagi organisme tertentu. Suhu media berpengaruh
terhadap aktifitas enzim pencernaan.
Perubahan
suhu juga akan mempengaruhi nilai oksigen terlarut (DO) dalam suatu perairan.
Semakin rendah suhu suatu perairan semakin tinggi nilai oksigen terlarutnya.
Tabel hasil pengamatan menunjukkan bahwa media C dan D dengan suhu air yang
rendah memiliki nilai DO yang tinggi.
Ikan
mas pada media A merupakan ikan mas yang paling aktif bergerak bila
dibandingkan dengan ikan pada 3 media air lainnya. Pada media A memiliki nilai
DO yang paling rendah bila dibanding dengan 3 media air lainnya, hal ini dapat dikarenakan
berkurangnya oksigen terlarut di dalam air yang
disebabkan karena penggunaan oksigen oleh ikan untuk melakukan respirasi.
Kenaikan
suhu akan memicu laju respirasi ikan mas semakin cepat. Peningkatan metabolisme pengaruhi oleh peningkatan suhu
tubuhnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada proses metabolisme melibatkan
reaksi yang dipacu oleh enzim. Bila suhu tubuh meningkat maka enzim akan lebih
aktif memecah substrat sehingga metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka
akan menghasilkan semakin banyak metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah
akan melakukan transport metabolit untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi
lebih cepat sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi meningkat yang akan
berpengaruh pada semakin cepatnya operculum untuk membuka dan menutup.
Pada
media B yang memiliki nilai suhu tertinggi bila dibandingkan dengan 3 media
lainnya. Media air dengan suhu yang tinggi menyebabkan rendahnya nilai DO.
Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut
di dalam air adalah digunakannya oksigen oleh ikan
untuk melakukan respirasi. Karena suhu bertambah, maka aktivias ikan meningkat
melalui kenaikan kecepatan membuka dan menutupnya operculum. Akibatnya
penggunaan oksigen meningkat dan terjadi penurunan jumlah oksigen terlarut.
Ikan
mas media B, ikan mas mengalami kematian. Hal ini dikarenakan, suhu perairan di
luar nilai kisaran toleransi ikan mas untuk dapat bertahan hidup. Suhu perairan
>500C adalah nilai intoleran bagi ikan mas untuk hidup. Aktivitas
fisiologis tubuh tidak dapat berjalan, karena pada suhu yang tinggi, protein
dalam tubuh ikan baik secara structural maupun fungsional mengalami denaturasi
atau kerusakan.
Ikan
mas pada media C melakukan adaptasi terhadap penurunan suhu. Karena ikan
bersifat ektotermik maka laju respirasi ikan mas melambat. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan panas tubuhnya dan cenderung untuk mengikuti besarnya suhu
media air. Apabila suhu yang
berada di sekitar lingkungan rendah maka terjadi penurunan aktivitas tubuh, karena proses metabolisme
tubuh tersebut melibatkan reaksi yang dikendalikan oleh enzim. Enzim akan
menurunkan aktivitas sel apabila berada pada suhu yang rendah. Oleh karena itu,
aktivitas ikan pada suhu air yang rendah atau dingin akan lebih turun atau
lambat dibandingkan bila berada di lingkungan suhu air
yang tinggi.
Ikan
mas yang berada pada media air D mengalami stress suhu rendah. Pada suhu 200C,
ikan masih berada dalam kisaran toleransi rendah dan masih bisa melakukan
aktivitas fisiologis meskipun sangat rendah. Suhu pada media air D sebesar 7oC
– 10oC, pada suhu ini ikan mengalami kematian karena enzim dalam
tubuhnya inaktif dan proses metabolisme tidak berjalan.
BAB
V
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Suhu pada media air dapat mempengaruhi
nilai oksigen terlarut (DO) sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ikan mas.
2.
Semakin rendah nilai DO, semakin menurun
aktivitas ikan mas, tetapi laju respirasi semakin meningkat.
3.
Semakin tinggi suhu pada media air, maka
aktivitas metabolisme ikan mas meningkat sehingga konsumsi oksigen semakin
bertambah, akibatnya semakin rendah nilai DO dalam media air.
DAFTAR PUSTAKA
Abdlanov, Dikri. 2011. Hubungan antara oksigen terlarut (DO) , PH dengan penyerapan bahan
toksik oleh organisme air. Diakses melalui http://abdilanov.blogspot.com/2011/11/hubungan-antara-oksigen-terlarut-do-ph.html pada
tanggal 8 Oktober 2012.
Amdah, Misdar. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Organisme. Diakses melalui http://blognaghgeo.blogspot.com/2011/02/pengaruh-suhu-terhadap-aktifitas.html pada
tanggal 8 Oktober 2012.
Anonim. 2008. Ikan
Mas (Cyprinus caprio L.) sebagai Early Warning System
pencemaran lingkungan. Diakses melalui http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/24/ikan-mas-cyprinus-caprio-l-sebagai-early-warning-system-pencemaran-lingkungan/ pada
tanggal 8 Oktober 2012.
Anonim. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Adaptasi Hewan terhadap
Lingkungannya. www.google.co.id. Diakses pada tanggal 30 Desember 2010.
Asmawati. 2004. Biologi Pendidikan IPA 1. Jakarta:
Univeersitas Terbuka.
Haryono. 1984. Biologi Umum. Jakarta : Intan
Pariwara.
Kholik. Abdul. 2000. Kamus Biologi Praktis. CV
Nurul Umu: Jakarta.
Nasir, Mochammad. 1993. Penuntun Praktikum
Biologi Umum. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nurani, Rizki
Gita. 2011. Pengaruh Berbagai Faktor
Lingkungan Terhadap Kehidupan Hewan Akuatik. Diakses melalui http://gitanurani09.blogspot.com/2011/03/pengaruh-berbagai-faktor-lingkungan.html pada tanggal 8
Oktober 2012.
Ramadhani, Fitri. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Organisme. Diakses melalui http://elfitri-vidow.blogspot.com/2012/05/lap-bio-pengaruh-suhu-terhadap.html pada
tanggal 8 Oktober 2012.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi
(BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume
XXX, Nomor 3, 2005 : 21 - 26 ISSN 0216-1877. Diakses melalui http://images.atoxsmd.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/RluywAoKCsYAAAHIw641/oksigen%20terlarut%20dan%20kebutuhan%20oksigen%20biologi%20untuk%20penentuan%20kualitas%20perairan.pdf?nmid=44066689, pada tanggal 8 Oktober 2012.
Soesilo. 1986. Biologi jilid 2. Jakarta :
Erlangga.
Tim Pengajar. 2010. Biologi umum. Makassar:
Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Udom, P.Eugene. 1987. Dasarr-Dasar Biologi. Yogyakarta:
Gayah Mada Universty per
Waskito, dkk. 1992. Biologi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Yuliani, dan
Rahardjo. 2012. Panduan Praktikum
Ekofisiologi. Unipress, Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.