Jumat, 10 Mei 2013

“ HUBUNGAN SUHU AIR DAN DO DENGAN AKTIVITAS IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) “


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Setiap mahluk hidup memiliki ciri-ciri tertentu, salah satunya menerima dan menanggapi rangsang. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan, maka mahluk hidup akan melakukan penyesuaian diri atau adaptasi untuk merasa lebih nyaman dan bisa beraktivitas dengan normal. Ketika mahluk hidup tersebut tak mampu untuk menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami kematian atau terkana seleksi alam (Amdah, 2011).
Banyak faktor yang bisa mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitasnya contohnya pengaruh dari luar seperti lingkungan dan pengaruh dalam yang berasal dari organisme itu sendiri. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi aktivitas organisme adalah suhu dimana suhu mempunyai rentang yang dapat ditolelir oleh setiap jenis organisme. Suhu mempunyai peranan penting dalam mengatur aktivitas biologis organisme baik hewan maupun manusia (Ramadhani, 2011).
Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya. Endoterm adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang diperlukan untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok ektoterm berasal dari suhu disekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan ketiga adalah heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti halnya pada endoterm, tetapi tidak dapat mempertahankan suhu tubunya dalam kisaran suhu yang sempit (Yuliani dan Rahardjo, 2012).
Reaksi enzimatis sangat bergantung pada suhu, karena aktivitas metabolisme di berbagai jaringan atau kehidupan suatu organisme bergabtung pada kemampuan untuk mempertahankan suhu yang sesuai dalam tubuhnya. Terhadap berbagai jenis hewan, bila terjadi kondisi luar yang kurang cocok atau stress, misalnya terjadi perubahan suhu lingkungan (dingin atau panas) akan menimbulkan usaha (secara fisiologi atau morfologi) untuk mengimbangi stress tersebut (Yuliani dan Rahardjo, 2012).
Menurut Yuliani dan Rahardjo (2012), Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara. Tinggi rendah suhu juga berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air akan mengurangi kadar oksigen terlarut. Keadaan suhu air dan DO akan mempengaruhi aktivitas ikan. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air. 
Untuk membuktikan pernyataan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Suhu Air dan DO dengan Aktivitas Ikan Mas”.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengaruh suhu air terhadap aktivitas ikan mas?
2.      Bagaimana pengaruh DO terhadap aktivitas ikan mas?

C.           Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengaruh suhu air terhadap aktivitas ikan mas
2.      Untuk mengetahui pengaruh DO terhadap aktivitas ikan mas
D.           Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.      Agar mahasiswa mengetahui perbandingan kecepatan penggunaan oksigen oleh ikan mas pada suhu dan DO yang berbeda.

E.            Hipotesis Penelitian
Semakin tinggi suhu air, maka semakin rendah DO (oksigen terlarut), sehingga aktivitas ikan mas semakin menurun. Respirasi ikan mas semakin meningkat.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.           Termoregulasi
Termoregulasi merupakan proses yang terjadi dalam tubuh hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan, supaya suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang drastis. Mekanisme termoregulasi yaitu mengatur keseimbangan antara perolehan panas dengan pelepasan panas. Keseimbangan suhu tubuh hewan dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan luar, hewan dapat bertahan hidup diantara -2oCsampai 50oCatau pada suhu yang lebih ekstrim. Namun, hidup secara normal hewan memilih kisaran suhu yang lebih sempit dari kisaran suhu tersebut yang ideal yang dikuasai agar proses fisiologis optimal. Suhu tubuh ideal yang palig disukai yaitu suhu ekritik berkisar antara 35oC-40oC.
Kisaran toleransi termal yaitu kisaran suhu yang lebih luas dan dapat diterima hewan. Suhu optimal sesuai keadaan tubuh suhu tubuh yaitu inti konstan dan suhu permukaan berubah – ubah.
Kenaikan suhu lingkungan mengakibatkan peningkatan laju reaksi dan berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme sel tubuh hewan. Hewan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh terbagi atas 2 yaitu hewan poikoloterm dan homeoterm.
Hewan poikiloterm yaitu hewan ektoterm yang suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal sedangkan hewan homeoterm yaitu hewan endoterm yang suu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh.
B.            Hewan Endoterm, Ektoterm, dan Heteroterm
Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya. Endoterm adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang diperlukan untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm berasal dari suhu di sekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan ketiga adalah Heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti halnya pada endoterm, tetapi tidak mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran suhu yang sempit (Yuliani dan Raharjo, 2009).
Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah batas ambang toleransinya hewan ektoterm akan mati. Hal ini karena praktis enzim tidak aktif bekeria sehingga metabolisme berhenti. Pada suhu yang masih bisa ditolerir, yang lebih rendah dari suhu optimum laju metabolisme tubuhnya dan segala aktifitas pun rendah, akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lamban sehingga akan memudahkan pemangsa atau predator untuk memangsa hewan tersebut.
Sebenarnya hewan ektoterm berkemampuan untuk mengatur suhu tubuhnya namun daya mengaturnya sangat terbatas dan tidak fisiologis sifatnya melainkan secara perilaku. Apabila suhu lingkungan terlalu panas hewan ektotermik akan berlindung di tempat-tempat teduh, apabila suhu lingkungan menurun, hewan tersebut akan berjemur dipanas matahari untuk menghangatkan tubuh.
Suhu mempengaruhi proses fisiologis hewan ektoterm termasuk aktivitas yang dilakukan. Penaikan maupun penurunan tersebut mencapai dua kali aktivitas normal. Aktifitas akan naik seiring dengan naiknya suhu sampai pada titik dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti aktifitas yang menurun dan akhirnya terjadi kematian.
Pada suhu sekitar 10oC dibawah atau diatas suhu normal suatu jasad hidup dan khususnya pada hewan ektoterm dapat mengakibatkan penurunan atau kenaikan aktifitas jasad hidup tersebut menjadi kurang lebih dua kali pada suhu normalnya. Sedangkan perubahan suhu yang tiba-tiba akan mengakibatkan terjadinya kejutan atau shock.

C.           Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang paling jelas, mudah diukur dan sangat beragam. Suhu tersebut mempunyai peranan yang penting dalam mengatur aktivitas biologis organisme, baik hewan maupun tumbuhan. Ini terutama disebabkan karena suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimiawi dalam tubuh dan sekaligus menentukan kegiatan metabolisme, misalnya dalam hal respirasi. Sebagaimana halnya dengan faktor lingkungan lainnya, suhu mempunyai rentang yang dapat ditolerir oleh setiap jenis organisme. Masalah ini dijelaskan dalam kajian ekologi yaitu, “Hukum Toleransi Shelford”. Dengan alat yang relatif sederhana, percobaan tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas respirasi organisme tidak sulit dilakukan, misalnya dengan menggunakan respirometer sederhana (Amdah, 2011).
Dibandingkan dengan kisaran dari ribuan derajat yang diketahui di bumi ini, kehidupan hanya dapat berkisar pada suhu 300oC, mulai dari -200oC sampai -100oC, sebenarnya banyak organisme yang terbatas pada daerah temperatur yang bahkan lebih sempit lagi. Beberapa organisme terutama pada tahap istirahat, dapat dijumpai pada temperatur yang sangat rendah, paling tidak untuk periode singkat. Sedangkan untuk jenis organisme terutama bakteri dan ganggang dapat hidup dan berkembang biak pada suhu yang mensekati titik didih. Umumnya, batas atau temperatur bersifat membahayakan dibanding atas bawah. Varibilitas temperatur sanagt penting secara ekologi. Embusan temperatur antara 10oC dan 80oC. Telah ditemukan bahwa organisme yang biasanya menjadi sasaran variabel temperatur di alam, seperti pada kebanyakan daerah beriklim sedang, cendernung tertekan, terlambat pada temperatur konstan (Waskito, 1992).
Kehadiran dan keberhasilan suatu organisme tergantung pada lengkapnya keadaan, ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan maupun kelebihan baik secar kualitatif maupun secara kuantitatif dari salah satu dari beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut. Faktor-faktor yang mendekati batas biotik tersebut meliputi komponen biotik dan komponen abiotik yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme tersebut. Komponen biotik yang dimaksud tidak terbatas pada tersedianya unsur-unsur yang dibutuhkan, tetapi mencakup pula temperatur, sinar matahari, air dan sebagainya. Tiap organisme mempunyai batas maksimum dan minimum terhadap faktor-faktor tersebut, dengan kisaran diantaranya batas-batas toleransi (Udom, 1989).
Dari hasil suatu pengkajian perintis (Shelford, 1929) menemukan bahwa telur-telur dan larva atau tingkat punah dari “Codling Moth” berkembang 7% atau 8% lebih cepat dibawah temperatur yang konstan. Dalam percobaan yang lain (Parker, 1930) telur belalang yang disimpan pada temperatur yang berbeda-beda menunjukkan percepatan rata-rata 36,6% dan percepatan rata-rata 12% diatas perkembangan pada temperatur konstan yang dapat dibandingkan. Karena organisme-organisme peka terhadap perubahan temperatur, dam karena temperatur itu dinilai terlalu tinggi sebagai faktor pembatas (Asmawati, 2004).
Ikan mas koki dapat beradaptasi pada suhu kisaran (20-25oC) yang mana pada suhu tersebut merupakan syarat hidup dari ikan mas koki. Dan tidak diharapkan untuk tidak melakukan perubahan atau perubahan kualitas air secara drastis karena itu dapat membahayakan kehidupan dari ikan itu sendiri (Kholik, 2000).
Diperairan tropis perbedaan atau variasi suhu air laut sepanjang tahun tidak besar; suhu permukaan laut nusantara berkisar antara 27oC dan 32oC. Kisaran suhu ini adalah normal untuk kehidupan biota laut di perairan Indonesia. Suhu alami tertinggi diperairan tropis berada dekat ambang batas penyebab kematian biota laut. Oleh karena itu, peningkatan suhu yang kecil saja dari alam dapat menimbulkan kematian atau paling tidak gangguan fisiologis biota laut. (Gesamp,1984) menyatakan bahwa kisaran suhu di daerah tropis sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup dekat dengan batas suhu tertinggi (Anonim, 2010).
Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan.  Pada proses pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang.  Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi.
Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat.  Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan (Anonim, 2010 dalam Amdah, 2011).
Suhu media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang terlibat proses katabolisme dan anabolisme.  Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa nutrien menjadi senyawa baru yang dibutuhkan tubuh).  Jika aktifitas enzim metabolisme meningkat maka laju proses metabolisme akan semakin cepat dan kadar metabolit dalam darah semakin tinggi.  Tingginya kadar metabolit dalam darah menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu makan tinggi, sehingga tingkat konsumsi pakan meningkat.  Konsumsi pakan yang tinggi akan meningkatkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh.  Energi ini akan digunakan untuk proses-proses maintenance dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan (Anonim, 2010).
Respirasi sendiri merupakan proses pertukaran gas oleh makhluk hidup terhadap lingkungan yang terjadi dengan dua cara yaitu ekspirasi (mengeluarkan CO2) dan inspirasi (O2 masuk kedalam tubuh). Respirasi terbagi atas repirasi aerob dan respirasi anaerob. Respirasi aerob adalah respirasi yang membutuhkan oksigen sedangkan respirasi anaerob adalah respirasi yang tidak membutuhkan oksigen.
Oksigen di dalam tubuh disimpan dalam darah dalam bentuk oxyhemoglobin (HbO2) dan disimpan dalam otot dalam bentuk oxymioglobin. Respirasi juga biasa didefenisikan sebagai proses pembebasan energi yang tersisa sumber zat energi dalam tubuh organisme melalui proses kimia dengan menggunakan oksigen. Zat sumber tersebut terdiri atas zat organik seperti protein, lemak, karbohidrat, dan asam amino (Soesilo, 1986).
Variasi lingkungan menimbulkan masalah yang berbeda bagi hewan dan tumbuhan. Bila hewan didapatkan pada habitat yang berbeda, tumbuhan dengan beberapa pengecualian, bila mereka hidup disuatu tempat maka mereka harus menyesuaiokan diri dengan lingkungannya (Nasir Mochammad, 1993).
Lingkungan yang bervariasi adalah suatu kenyataan bagi kehidupan tumbuhan dan hewan. Bentuk ragam organisme dipengaruhi oleh tingkat dan jumlah perubahan lingkungan, perubahan karena musim dan siklus pasang surut mengahasilkan perubahan pada lingkungan yang diramalkan, siklus yang terakhir ini adalah perubahan sebagai hasil dari siklus biologi (Haryono, 1984).

D.           DO (Dissolved Oxigen)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen =DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang
dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968).
Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik.
Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuanaerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksibahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya (Salmin, 2005).
DO merupakan perubahan mutu air paling penting bagi organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50% konsentrasi jenuh, tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela, akibatnya ikan akan mati lemas (Ahmad dkk,1998). Kandungan DO di kolam tergantung pada suhu, banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik (Lelono, 1986 dalam Anonim, 2008).
DO : Kelarutan suatu gas pada cairan. Penurunan kadar oksigen terlarut dapat disebabkan oleh tiga hal:
1.      Proses oksidasi (pembongkaran) bahan-bahan organik.
2.      Proses reduksi oleh zat-zat yang dihasilkan baktri anaerob dari dasar perairan.
3.      Proses pernapasan orgaisme yang hidup di dalam air, terutama pada malam hari. “ Semakin tercemar, kadar oksigen terlerut semakin mengecil (Abdilanov, 2011).
Perhitungan nilai DO dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Rachmadiarti, 2008):
Keterangan :
DO = Dissolved Oxigen (mg/L)
a = volume titrasi yang dipakai
N = normalitas Na2S2O3 (0,025 N)

E.            Ikan Mas (Cyprinus caprio L)
Ikan Mas adalah salah satu jenis ikan peliharaan yang penting sejak dahulu hingga sekarang. Daerah yang sesuai untuk mengusahakan pemeliharaan ikan ini yaitu daerah yang berada antara 150 – 600 meter di atas permukaan laut, pH perairan berkisar antara 7-8 dan suhu optimum 20-25 oC. Ikan Mas hidup di tempat-tempat yang dangkal dengan arus air yang tidak deras, baik di sungai danau maupun di genangan air lainnya ( Asmawi, 1986 dalam Anonim, 2008).
Ikan Mas layak digunakan sebagai indicator biologis karena memenuhi syarat yang ditetapkan American Public Health Association (APHA), antara lain :
1. Organisme harus sensitf terhadap material racun dan perubahan lingkungan.
2. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak.
3. Mempunyai arti ekonomis, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional.
4. Mudah dipelihara dalam laboratorium.
5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit.
6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati
Klasifikasi Ikan Mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidea
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus caprio L
Ikan Mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang, agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang halus, dua pasang kumis (babels), ukuran dan warna badan sangat beragam (Sumantadinata, 1983 dalam Anonim, 2008).
Sumber Gambar:

Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala (omnivora) yang antaralain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur, potongan ikan, dan lain-lain (Asmawi,1986 dalam Anonim, 2008).
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993 dalam Anonim, 2008). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8 – 12 cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnan water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulannya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993 dalam Anonim, 2008).


BAB III
METODE PENELITIAN
A.           Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, karena terdapat variabel-variabel dalam penelitian yang dilakukan yaitu variabel manipulasi, variabel respon, dan variabel kontrol.

B.            Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1.      Variabel kontrol : jenis ikan, ukuran ikan, ukuran aquarium (toples).
2.      Variabel manipulasi : media air (air panas, air dingin, dan air suhu kamar).
3.      Variabel respon : aktivitas ikan, pergerakan ikan, waktu kematian ikan.

C.           Alat dan Bahan
1.      Alat
§  Termometer
§  Aquarium (toples)
§  Botol Winkler
§  Erlenmeyer
§  Pipet
§  Gelas Ukur
2.      Bahan
§  Air suhu kamar
§  Air panas (± 80 oC)
§  Air dingin (air es)
§  Ikan mas
§  MnSO4
§  KOH.KI
§  H2SO4
§  Larutan amilum
§  Na2S2O3

D.           Langkah Kerja
1.      Membuat Media Air à Perlakuan
1)      Mengisi toples A dengan 750 mL air pada suhu kamar, kemudian memasukkan 2 ekor ikan mas.
2)      Mengisi toples B dengan air panas (± 80 oC) dan air suhu kamar dengan perbandingan 2:1, total volume air 750 mL air (400 mL air panas + 350 mL air suhu kamar), kemudian memasukkan 2 ekor ikan mas.
3)      Mengisi toples C dengan 400 ml air es dan 350 mL air suhu kamar, kemudian memasukkan 2 ekor ikan mas.
4)      Mengisi toples D dengan 600 mL air es dan 150 mL air suhu kanar, kemudian memasukkan 2 ekor ikan mas
5)      Mengamati aktivitas dan pergerakan ikan mas pada masing-masing toples.

2.      Mengukur suhu dan DO
a.      Mengukur suhu
1)      Memasukkan termometer pada masing-masing media air
2)      Menghitung suhu hingga 3 menit pertama
3)      Mencatat hasil ke dalam tabel
b.      Mengukur DO
1)      Mengambil masing-masing sampel air dengan menggunakan botol Wikler gelap, diusahakan agar tidak ada O2 yang terperangkap dalam botol.
2)      Menambahkan MnSO4 sebanyak 2 mL, mengocok botol Winkler secara perlahan-lahan (membolak-balik botol dengan hati-hati). Mendiamkan beberapa saat hingga terbentuk 2 lapisan
3)      Menambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 mL ke dalam botol secara hati-hati, mengocok botol secara hati-hati, melakukan titrasi.
4)      Mengambil 100mL sampel air yang telah mendapat perlakuan dan memasukkan dalam erlenmeyer.
5)      Melakukan titrasi dengan Na2S2O3 sampai terjadi perubahan warna (menjadi kuning muda).
6)      Menambahkan amilum sebanyak 10 tetes hingga tampak warna biru dan melanjutkan titrasi dengan Na2S2O3 hingga warna biru menghilang
7)      Menghitung DO dengan menggunakan rumus

3.      Menghitung DO
Keterangan :
a = volume titrasi yang dipakai
N = konstanta 0,025


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.           Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Hubungan antara suhu air dan DO terhadap aktivitas Ikan Mas
Media Air
Suhu (oC)
DO
Respirasi
Pola Pergerakan Ikan Mas
Awal
Akhir
A
29
29
0,6
168
-     Ikan bergerak leluasa
-     Terlihat tidak mengalami shock
-     Pembukaan operculum (respirasi) stabil
B
59
55
1,91
17,33
-     Ikan mengalami shock (kejang-kejang)
-     Keluar darah dari bagian operculum
-     Ikan mati pada detik ke-59
C
17
20
3,94
100,67
-     Ikan mengalami penurunan kecepatan gerak
-     Operculum membuka secara lambat
-     Ikan tidak sampai mati
D
7
10
3,41
48
-     Pergerakan ikan lambat
-     Ikan mati pada detik ke-45

Grafik 1. Hubungan Suhu Air Terhadap Nilai DO
Grafik 2. Hubungan Suhu Air Terhadap Laju Membuka dan Menutupnya Operculum Ikan Mas
B.            Analisis Data
Berdasarkan  tabel dan grafik hasil pengamatan dapat diketahui bahwa suhu air dapat mempengaruhi adanya oksigen terlarut (DO) dalam air, sehingga dapat berpengaruh pula pada tingkat aktivitas ikan mas. Salah satu aktivitas ikan mas yang diamati adalah frekuensi membuka dan menutupnya operculum.
Ikan mas dalam media air A dapat bergerak leluasa dan pembukaan operculum yang stabil. Laju membuka dan menutupnya operculum sebesar 168 per menit yang merupakan nilai terbesar bila dibandingkan dengan media yang lain. Ikan mas pada media ini tetap hidup, hal ini menunjukkan bahwa ikan mas mampu bertahan hidup pada suhu 29oC.
Media air B yang memiliki suhu paling tinggi, memiliki nilai DO sebesar 1,91 dan laju membuka dan menutupnya operculum sebesar 17,33 per menit. Saat ikan mas dimasukkan dalam media B, ikan mengalami shock (kejang-kejang), ikan mas mengeluarkan darah dari bagian operculum, dan ikan mas mati pada detik ke-59. Ikan mas tidak dapat hidup pada suhu air yang sangat tinggi karena memiliki kisaran toleransi yang sempit.
Pada media air C dan D memiliki suhu air yang rendah. Pada media air C dengan suhu awal 17 oC dan suhu akhir 20 oC memiliki nilai DO sebesar 3,94 dan laju respirasi sebesar 100,67 per menit. Ikan mengalami penurunan kecepatan gerak yang sebelumnya bergerak sangat cepat, operculum membuka secara lambat, tetapi ikan tidak sampai mati.
Media air D  memiliki suhu yang paling rendah dengan nilai DO 3,41 dan laju respirasi sebesar 48 per menit. Ikan mengalami perlambatan gerak yang bertujuan untuk mempertahankan panas dalam tubuhnya. Ikan mas mati pada menit ke-45.

C.           Pembahasan
Dalam penelitian ini, ikan mas melakukan termoregulasi terhadap beberapa perubahan suhu lingkungan yang ditunjukkan dari berbagai macam media air A, B,C dan D. Termoregulasi merupakan proses yang terjadi dalam tubuh hewan untuk mengatur suhu tubuhnya agar  tetap konstan, agar suhu tubuh tidak mengalami perubahan yang drastis.
Bahan uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan mas. Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan diri pada suhu lingkungan sekelilingnya. Ikan mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat ditoleransi.
Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi kehidupan  ikan. Perubahan-perubahan faktor tersebut hingga batas tertentu dapat menyebabkan stress dan timbulnya penyakit. Salah satu faktor fisik tersebut mencakup suhu. Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat penting dalam menunjang kehidupan organisme perairan. Pada suhu perairan yang tinggi aktifitas metabolisme akan meningkat sehingga pada kondisi demikian konsumsi oksigen akan bertambah pula, sedangkan kelarutan oksigen dalam air akan mengalami penurunan dengan bertambahnya suhu sehingga hal tersebut bisa saja menyebabkan kematian bagi organisme tertentu. Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan.
Perubahan suhu juga akan mempengaruhi nilai oksigen terlarut (DO) dalam suatu perairan. Semakin rendah suhu suatu perairan semakin tinggi nilai oksigen terlarutnya. Tabel hasil pengamatan menunjukkan bahwa media C dan D dengan suhu air yang rendah memiliki nilai DO yang tinggi.
Ikan mas pada media A merupakan ikan mas yang paling aktif bergerak bila dibandingkan dengan ikan pada 3 media air lainnya. Pada media A memiliki nilai DO yang paling rendah bila dibanding dengan 3 media air lainnya, hal ini dapat dikarenakan berkurangnya oksigen terlarut  di  dalam  air yang disebabkan  karena penggunaan oksigen oleh ikan untuk melakukan respirasi.
Kenaikan suhu akan memicu laju respirasi ikan mas semakin cepat. Peningkatan metabolisme pengaruhi oleh peningkatan suhu tubuhnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada proses metabolisme melibatkan reaksi yang dipacu oleh enzim. Bila suhu tubuh meningkat maka enzim akan lebih aktif memecah substrat sehingga metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin banyak metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan transport metabolit untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi meningkat yang akan berpengaruh pada semakin cepatnya operculum untuk membuka dan menutup.
Pada media B yang memiliki nilai suhu tertinggi bila dibandingkan dengan 3 media lainnya. Media air dengan suhu yang tinggi menyebabkan rendahnya nilai DO. Penyebab   utama   berkurangnya oksigen terlarut  di  dalam  air  adalah  digunakannya oksigen oleh ikan untuk melakukan respirasi. Karena suhu bertambah, maka aktivias ikan meningkat melalui kenaikan kecepatan membuka dan menutupnya operculum. Akibatnya penggunaan oksigen meningkat dan terjadi penurunan jumlah oksigen terlarut.
Ikan mas media B, ikan mas mengalami kematian. Hal ini dikarenakan, suhu perairan di luar nilai kisaran toleransi ikan mas untuk dapat bertahan hidup. Suhu perairan >500C adalah nilai intoleran bagi ikan mas untuk hidup. Aktivitas fisiologis tubuh tidak dapat berjalan, karena pada suhu yang tinggi, protein dalam tubuh ikan baik secara structural maupun fungsional mengalami denaturasi atau kerusakan.
Ikan mas pada media C melakukan adaptasi terhadap penurunan suhu. Karena ikan bersifat ektotermik maka laju respirasi ikan mas melambat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan panas tubuhnya dan cenderung untuk mengikuti besarnya suhu media air. Apabila suhu yang berada di sekitar lingkungan rendah maka terjadi penurunan aktivitas tubuh, karena proses metabolisme tubuh tersebut melibatkan reaksi yang dikendalikan oleh enzim. Enzim akan menurunkan aktivitas sel apabila berada pada suhu yang rendah. Oleh karena itu, aktivitas ikan pada suhu air yang rendah atau dingin akan lebih turun atau lambat dibandingkan bila berada di lingkungan suhu air yang tinggi.
Ikan mas yang berada pada media air D mengalami stress suhu rendah. Pada suhu 200C, ikan masih berada dalam kisaran toleransi rendah dan masih bisa melakukan aktivitas fisiologis meskipun sangat rendah. Suhu pada media air D sebesar 7oC – 10oC, pada suhu ini ikan mengalami kematian karena enzim dalam tubuhnya inaktif dan proses metabolisme tidak berjalan.


BAB V
PENUTUP
A.           Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Suhu pada media air dapat mempengaruhi nilai oksigen terlarut (DO) sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ikan mas.
2.      Semakin rendah nilai DO, semakin menurun aktivitas ikan mas, tetapi laju respirasi semakin meningkat.
3.      Semakin tinggi suhu pada media air, maka aktivitas metabolisme ikan mas meningkat sehingga konsumsi oksigen semakin bertambah, akibatnya semakin rendah nilai DO dalam media air.


DAFTAR PUSTAKA

Abdlanov, Dikri. 2011. Hubungan antara oksigen terlarut (DO) , PH dengan penyerapan bahan toksik oleh organisme air. Diakses melalui http://abdilanov.blogspot.com/2011/11/hubungan-antara-oksigen-terlarut-do-ph.html pada tanggal 8 Oktober 2012.

 

Amdah, Misdar. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Organisme. Diakses melalui http://blognaghgeo.blogspot.com/2011/02/pengaruh-suhu-terhadap-aktifitas.html pada tanggal 8 Oktober 2012.

 

Anonim. 2008. Ikan Mas (Cyprinus caprio L.) sebagai Early Warning System pencemaran lingkungan. Diakses melalui http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/24/ikan-mas-cyprinus-caprio-l-sebagai-early-warning-system-pencemaran-lingkungan/ pada tanggal 8 Oktober 2012.

 

Anonim. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptasi Hewan terhadap         Lingkungannya. www.google.co.id. Diakses pada tanggal 30 Desember 2010.

 

Asmawati. 2004. Biologi Pendidikan IPA 1. Jakarta: Univeersitas Terbuka.

 

Haryono. 1984. Biologi Umum. Jakarta : Intan Pariwara.

 

Kholik. Abdul. 2000. Kamus Biologi Praktis. CV Nurul Umu: Jakarta.

 

Nasir, Mochammad. 1993. Penuntun Praktikum Biologi Umum. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Nurani, Rizki Gita. 2011. Pengaruh Berbagai Faktor Lingkungan Terhadap Kehidupan Hewan Akuatik. Diakses melalui http://gitanurani09.blogspot.com/2011/03/pengaruh-berbagai-faktor-lingkungan.html pada tanggal 8 Oktober 2012.

 

Ramadhani, Fitri. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Organisme. Diakses melalui http://elfitri-vidow.blogspot.com/2012/05/lap-bio-pengaruh-suhu-terhadap.html pada tanggal 8 Oktober 2012.

 

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi

(BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 - 26 ISSN 0216-1877. Diakses melalui http://images.atoxsmd.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/RluywAoKCsYAAAHIw641/oksigen%20terlarut%20dan%20kebutuhan%20oksigen%20biologi%20untuk%20penentuan%20kualitas%20perairan.pdf?nmid=44066689, pada tanggal 8 Oktober 2012.

Soesilo. 1986. Biologi jilid 2. Jakarta : Erlangga.

 

Tim Pengajar. 2010. Biologi umum. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA UNM.

 

Udom, P.Eugene. 1987. Dasarr-Dasar Biologi. Yogyakarta: Gayah Mada Universty         per

 

Waskito, dkk. 1992. Biologi. Jakarta: Bumi Aksara.

 

Yuliani, dan Rahardjo. 2012. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Unipress, Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar